Lompat ke isi utama

Berita

Kebijakan Tak Populer Pemerintah : Melanjutkan Pilkada di Tengah Pandemi

Oleh
Hamdan Akbar Safara, S.AP, M.AP
(Anggota Bawaslu Kota Malang)

malangkota.bawaslu.go.id - Pemilihan Kepala Daerah yang pada umumnya disebut dengan Pilkada, merupakan salah satu wujud pelaksanaan nilai demokrasi di daerah. Dalam hal ini, konteks demokrasi elektoral menjadi jadwal atau siklus rutin lima tahunan sekali. Perhelatan wujud kedaulatan rakyat kali ini dalam pilkada serentak 2020 mengalami kondisi yang berat. Setelah World Health Organization (WHO) menyatakan terdapat pandemi global pada awal tahun 2020. Indonesia tak luput terdampak pandemi yang disebabkan oleh Covid-19. Tidak hanya gelaran lima tahunan Pilkada yang harus menyesuaikan kondisi pendemi. Namun dari segala lini atau aspek kehidupan mengalami perubahan drastis. Dengan demikian semua elemen dituntut untuk cepat beradaptasi dan khususnya konteks pilkada  dituntut berinovasi dalam rangka penyesuaian penyelenggaran pilkada di tengah pandemi.

Melalui langkah strategis dan taktis, para stakeholder yang membidangi penyelenggaraan pilkada, baik dari kalangan pemerintahan Kementrian Dalam Negeri, legislatif Komisi II  serta penyelenggara pemilu KPU; Bawaslu dan DKPP mencurahkan perhatian penuh terhadap kondisi ini. Melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada bulan April menghasilkan kesimpulan penundaan pilkada. Sejatinya pemungutan suara akan dilakukan bulan September maka diundur pada bulan Desember. Secara sudut pandang hukum, inovasi yang telah dilakukan ialah berupa lahirnya Perpu nomor 2 tahun 2020 yang kemudian telah diundangkan dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2020 tentang perubahan ketiga Undang-undang 1 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah serentak. Hal ini menjadi langkah konstitusional yang diambil oleh pemerintah untuk menunda pilkada.

Kita ketahui bersama, belakangan ini terdapat gelombang besar tuntutan agar pilkada ditunda (kembali), yang nantinya akan dilakukan pada bulan Desember 2020. Tak tanggung-tanggung dua ormas terbesar di negeri ini menyerukan hal tersebut. Tentunya yang menjadi pertimbangan,  kondisi pandemi belum terkendali di Indonesia. Akan tetapi, dari pihak pemerintah sekaligus hasil dari RDP yang diadakan oleh Komisi II DPR RI pada hari senin tanggal 21 September 2020 didapat kesimpulan bahwa pilkada tetap dilanjutkan pada bulan Desember 2020. Keputusan ini bukan tanpa sebab, namun melalui pertimbangan yang matang. Bahkan hasil dari RDP tersebut secara tegas sangat memperhatikan akan keselamatan semua pihak yang terlibat dalam perhelatan pemilihan kepala daerah serentak.

Sebenarnya jika difokuskan pada konteks pilkada yang sudah berjalan ditengah pandemi, seperti tahapan pemutakhiran data pemilih, pencalonan mulai verifikasi administrasi maupun verifikasi faktual sampai penetapan calon, belum ada data yang menyebutkan kenaikan angka covid-19 dari klaster pilkada. Dengan ini penyelenggara pemilu telah melengkapi melalui instrument hukum yakni PKPU 6 tahun 2020 yang menjawab akan penyesuaian kegiatan tahapan pilkada ditengah pandemi. Oleh sebab itu narasi untuk menunda pilkada dirasa tidak cukup kuat. Jika dinilai terdapat kekurangan pada waktu pelaksanaan di lapangan maka niscaya adanya. Namun, seyogyanya semua elemen kelompok masyarakat bahkan tokoh masyarakat mendukung (kritis dan solutif) dalam mengawal agenda kedaulatan rakyat di daerah secara serentak ini.

Tidak patut dibandingkan secara ekstim atau fundamen antara kepentingan kesehatan dengan ekonomi maupun kesehatan dengan kepentingan demokrasi, walapun terdapat irisan yang erat di dalamnya. Selayaknya antara kepentingan tersebut harus diselaraskan secara proposional. Semua negara mengalami dilematis atau dalam kondisi yang sulit dalam era pandemi saat ini. Namun di Indonesia, pemerintah telah menunjukkan pengambilan langkah kebijakan yang populer dengan menyelaraskan kepentingan perekonomian dengan kepentingan Kesehatan. Dengan menetapkan dan menerapkan new normal atau adaptasi baru di tengah pandemi, gelombang besar penolakan tidak sebesar saat pemerintah mengambil kebijakan tidak popular kali ini, yakni terkait melanjutkan pilkada untuk bulan Desember 2020.  Penerimaan public terhadap Kebijakan new normal  terjadi gelombang penolakan yang hanya dari kalangan Kesehatan, organisasi maupun pemerhati Kesehatan (masyarakat). Tidak untuk kebijakan tetap melanjutkan pilkada 2020, yakni yang terjadi gelombang penolakan lebih besar. Tidak tanggung-tanggung beberapa kelompok koalisi baik partai, ormas bahkan tokoh nasional menolak dengan kencang atas terselenggaranya pilkada ditengah pandemi di  tahun 2020. Memang narasi yang dibangun menjunjung nilai kemanusiaan, namun sangat kontraproduktif jikalau kritiakan tersebut mengandung unsur gerakan yang tidak menyukseskan pilkada. Berdasarkan pemberitaan media, terdapat salah satu tokoh nasional menyerukan untuk golput. Fenomana ini sangat tak elok tersuguhkan di bangsa yang gandrung akan demokrasi yang berkemajuan.

Kebijakan berlandaskan Good Governance

            Konsep mengenai definisi kebijakan publik memang masih menjadi perdebatan tersendiri, terkait pengertian secara akomodatif. Menarik yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye dalam mendeskripsikan kebijakan publik, yakni segala sesuai yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (1978). Dalam konsep Dye, aktor yang digambarkan ialah pemerintah. Bahwa yang dapat mengeluarkan kebijakan publik ialah lembaga yang memiliki kewenangan. Konteks kebijakan lanjutan pilkada terdiri dari aktor pemerintah sebagai berikut, Pemerintah Khususnya Kementrian Dalam Negeri; DPR RI khususnya Komisi II serta trio penyelenggara pemilu berdasarkan undang-undang yang berlaku. Namun dalam konteks isu yang genting dan penting, semua pemerintah memilih langkah untuk aktif mengambil sesuatu tindakan. Suatu produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik aktif mengambil langkah ataupun tidak menyikapi, sama-sama memberikan konsekuensi atau dampak tersendiri dalam kehidupan masyarakat.            

            Pendekatan good governance dalam proses kebijakan, ialah sudut pandang keterlibatan segala elemen aktor dalam proses munculnya kebijakan, baik pada tahap pembuatan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan. Hakekatnya prespektif good governance bukan merupakan pilihan satu-satunya maupun yang terbaik dari model atau jenis pendekatan governance lainnya. Namun di dunia seolah telah terjadi kesepakatan konsep good governance yang menjadi patokan pemerintah itu baik atau tidak, hal ini dikarenakan lembaga-lembaga dunia, seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan WTO mengamini konsep good governance. Pada narasi ini, penulis tidak akan memperdebatkan terkait jenis-jenis pendekatan governance. Paham atau aliran good governance muncul pada tahun 1990-an, nilai good governance menurut Kooiman, merupakan serangkaian interaksi kegiatan (proses) sosial-politik antara pemerintah (arti luas) dengan masyarakat dalam rangka mewujdkan kepentingan masyarakat melalui intervensi pemerintah. Perwujudan nilai good governance pada kebijakan pilkada lanjutan saat ini, yakni terkait keterlibatan semua unsur stakeholder yang membidangi kepemiluan (pilkada). Maknanya, kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk melanjutkan pilkada ditengah pandemi bukan semata-mata arogansi, namun melalui mekanisme proses aspirasi dan gagasan dari administrator kebijakan undang-undang pilkada, terutama KPU; Bawaslu dan DKPP beserta para wakil rakyat yang tergabung dalam DPR RI , dalam hal ini komisi II yang membidangi urusan kepemiluan. Dan tentunya pelibatan aktor atau stakeholder penunjang, yakni BPNPB selaku leading sektor program penanggulangan pandemi sebagai bencana nasional non alam. Proses ini dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh semua kalangan atau publik. Keterbukaan atau transparansi merupakan salah satu core dari good governance

Secara mendasar yang ingin diwujudkan oleh pemerintah bersama stakeholder kepemiluan terhdap kepentingan masyarakat/rakyat yang terdampak terselenggaranya pilkada serentak ini, kepastian hukum dan strategic public services. Pertama terkait dengan kepastian hukum, sebagaimana Langkah optimis pemerintah untuk melanjutkan pilkada pada Desember 2020, ingin memberikan kepastian dalam konteks penggunaan hak konstitusi, berupa hak pilih dan memilih. Walaupun satu sisi antara hak konstitusi berupa hak hidup berupa kesehatan dengan hak politik tidak dapat diperbandingkan secara ansih. Sebagaimana para aktor yang memformulasikan kebijakan pilkada 2020 tetap berlanjut, telah menyelaraskan antara hak hidup (khususnya kesehatan) dengan hak poltik. Politic will ini terlihat dari hasil RDP anatara komisi II dengan kemendagri, KPU, Bawaslu, DKPP yang bersepakat dan berkomitmen tinggi menjunjung tinggi kebiasaan hidup baru dengan protokol kesehatan. Adapun hasil RDP tersebut yang mencerminkan pro protokol kesehatan adalah terdapat semangat untuk melarangan pertemuan (kampanye) yang melibatkan massa banyak dan/atau kerumunan, seperti rapat umum, konser, dan arak-arakan. Kedua, mendorong metode kampanye daring dengan memanfaatkan teknologi informasi. Ketiga, mewajibkan secara tegas penggunaan sarana pelindung diri, seminimalnya penggunaan masker, hand sanitizer, sabun, dan alat pelindung diri lainnya. Keempat, penegakkan disiplin dan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Kelima, penggunaan teknologi informasi dalam membantu rekapitulasi berupa elektonik rekapitulasi (e-rekap). Serta yang terkahir, ialah optamilasi kelompok kerja yang telah dibentuk bersama antara Bawalu, KPU, DKPP, Kemendagri, TNI, Satgas Covid-19, Kejaksaan, dan Kepolisian dalam penguatan pencegahan pelanggaran protokol covid dan penindakan (penegakan hukumnya). Poin kesimpilan terakhir yang menjadi nilai utama dalam menyukseskan implementasi kebijakan lanjutan pilkada 2020 ditengah pandemi ini.

Terakhir, pertimbangan yang paling mendasar dari tetap dilaksanakannya pilkada 2020 adalah terkait efektivitas penyelenggaran pemerintah daerah. Status kepala daerah definitif dengan kepala daerah sebagai pelaksana tugas (Plt) sangat berbeda akan kendali efektivitas terselenggaranya pemerintah daerah, baik dalam melayani masyarakat maupun membangun daerahnya. Perbedaaan yang mendasar atas status kepala daerah tersebut terdapat di kewenangan selaku kepala daerah. Sebagaimana kepala daerah definitif memiliki kewenangan strategis dalam membangun daerah, dapat terjadi hasil yang optimal jika langkah stategis, taktis da berani yang melakukan kepala daerah definitf, khususnya dalam menghadapi kondisi pandemic (sulit). Sebaliknya, kepala daerah sebagai pelaksana tugas tidak memiliki kewenangan sama sekali dalam hal strategis, tetapi yang dimiliki hanya semata tugas sebagai kepala daerah penerus kebijakan strategis kepala daerah definitif sebelumnya. Maka yang ditakutkan ialah pembagnunan dan pelayanan public kepada masyarakat tidak dapat optimal. Entri poin ini yang menjadi syarat penting dalam menstabilkan kondisi krisis seperti pada saat ini, Dampak akibat pandemi yang telah dirasakan sangat memukul masyarakat. Menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi daerah untuk memiliki kepala daerah yang definitif dalam meringankan beban rakyat yang terdampak akibat pandemi berkepanjangan. Tentunya melalui cara pemilihan langsung yang merupakan perwujudan kehendak rakyat. Mengutip istilah yang mendunia dalam bahasa latin Vox Populi Vox Dei , suara rakyat ialah suara tuhan. Maka kepastian akan nasib masyarakat ditentukan oleh kehendak masyarakat dengan proses pemilihan kepala daerah, dalam arti positif. Dengan demikian, penulis berharap dan mengajak kepada semua unsur elemen masyarakat untuk menyukseskan perhelatan demokrasi elektoral daerah dengan mengawal kedisiplinan protokol kesehatan dengan tujuan mewujudnya pengendalian pandemi dalam berlangsungnya pilkada serentak 2020, demi Indonesia maju.

Tag
Opini
Pengawasan
Publikasi